Langsung ke konten utama

Resensi: Merasakan Pengalaman Visual Apik dari Film 1917

Sumber: cinematerial.com

Film 1917 merupakan film drama perang Inggris yang disutradarai oleh Sam Mendes dan dirilis di Indonesia pada 18 Januari 2020. Film ini bercerita tentang konflik Perang Dunia I (1914-1918) dan terfokus pada dua orang prajurit muda dari Inggris, Schofield (George MacKay) dan Blake (Dean-Charles Chapman) yang mendapat sebuah misi untuk menyampaikan pesan kepada pasukan lainnya secepat mungkin serta mencegah gugurnya ribuan tentara. Lokasi syuting pembuatan film 1917 dilakukan di dua tempat, Inggris dan Skotlandia. Pembuatan film ini didedikasikan sebagai penghormatan untuk kakek Sam Mendes, Alfred H. Mendes yang terlibat langsung dalam Perang Dunia I. Cerita dari kakeknya itu kemudian dikembangkan oleh Sam Mendes sendiri dan dibantu juga oleh Krysty Wilson-Cairns menjadi naskah yang memungkinkan penonton menjadi bagian dalam perjalanan mengirim pesan dalam kondisi perang besar.

Film ini telah banyak mendapatkan nominasi maupun penghargaan dalam ajang penghargaan film bergengsi seperti Academy Award (3 penghargaan untuk Best Cinematography, Best Visual Effects, dan Best Sound Mixing), BAFTA Award (7 penghargaan termasuk Best Direction dan Best Film), Golden Globe Award (2 penghargaan yaitu Best Director dan Best Motion Picture), dan masih banyak lagi deretan penghargaan yang diraih oleh film 1917.

Memang harus diakui bahwa selain mengusung tema drama peperangan, film 1917 memiliki banyak nilai yang terkandung seperti nilai artistik dan nilai moral yang patut diapresiasi. Dilihat dari nilai artistik, film 1917 memiliki sinematografi yang indah dan luar biasa berkat Roger Deakins yang memang sudah piawai sebagai kamerawan, sehingga mampu menciptakan pengalaman visual baru bagi penonton. Cara pengambilan gambar yang mengusung teknik one shot memberikan pengalaman tak biasa bagi penonton yang seakan ikut serta dan menjadi saksi pergerakan dua tokoh utama dalam menjalankan misinya dari awal hingga film berakhir.

Meski begitu, film 1917 tidak benar-benar mengaplikasikan teknik one shot secara utuh, transisi yang sangat halus adalah hal paling utama dan kunci untuk menampilkan film yang seolah-olah diambil dengan satu kamera ini atau seluruh adegan diambil tanpa jeda. Selain itu, set builder yang disiapkan untuk film ini juga terlihat sangat matang dan realistik dengan ditambahkan efek visual didalamnya. Tingkat pencahayaan, kontras, dan pemilihan tone warna yang sedikit pucat menambahkan kesan tua dan klasik, sehingga mendukung suasana film yang berlatar belakang dekade 1910-an ini.

Dilihat dari nilai moral, film 1917 ini tidak hanya sekedar film perang. Ada beberapa nilai moral yang dapat ditemukan dalam film ini ialah etos kerja dan disiplin yang menjadi modal penting dalam melakukan pekerjaan apapun seperti yang diperlihatkan oleh Blake. Saat Schofield berkata bahwa misi menyampaikan pesan sebelum fajar adalah hal yang mustahil, Blake tetap memiliki keteguhan untuk menjalankan tugasnya tersebut. Nilai moral lainnya ialah kesetiakawanan dan kejujuran seperti yang ditunjukkan oleh kedua tokoh.

Kendati demikian, bagi kalian yang suka menonton film perang dengan adegan yang menegangkan disertai pergulatan senjata di medan perang, film 1917 ini aku rasa akan membuat kalian merasa bosan karena hanya sedikit saja adegan pergulatan senjata yang ditampilkan dalam film ini. Itu karena 1917 sebenarnya tidak memfokuskan alur ceritanya pada hal tersebut, melainkan fokusnya adalah bagaimana tokoh harus mempertaruhkan hidupnya dalam sebuah perjalanan mengantar pesan penting demi menyelamatkan banyak nyawa dalam peperangan.

Film 1917 menambah deretan film perang terbaik setelah Dunkirk, Schindler’s List, Fury, dan Saving Private Ryan menurutku. Namun, film 1917 memberikan pengalaman baru bagi penonton dalam menyaksikan film bertema peperangan. Plot film 1917 ini juga terbilang ringan dan fokus dengan satu permasalahan, yaitu misi menyampaikan pesan secepat mungkin seperti yang tertera di poster filmya, “Time is The Enemy”. Maka aku pun tidak ragu untuk memberikan rating 10/10 untuk film ini atas kerja keras sutradara, aktor dan aktris, serta kru produksi lainnya yang telah menampilkan film sedemikian apiknya. Namun sekali lagi, semua juga kembali ke selera masing-masing individu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konflik Sosial Antara Penguasa dan Rakyat dalam Cerpen "Saksi Mata" karya Seno Gumira Ajidarma

Source: elsam.or.id Pada tulisanku kali ini, aku akan membahas sebuah cerpen karangan Seno Gumira Ajidarma berjudul "Saksi Mata". Cerpen ini merupakan satu dari 16 cerpen yang terdapat dalam buku kumpulan cerpen Seno Gumira Ajidarma dengan judul yang sama dan ditulis pada tanggal 4 Maret 1992. Namun, aku membaca cerpen "Saksi Mata" ini melalui website sukab.wordpress.com, yang dikelola oleh komunitas penggemar Seno Gumira Ajidarma. Aku menjadi ingin membahas cerpen ini setelah merasa agak muak dengan kecamuk masalah yang dihadapi oleh negara ini, Indonesia. Satu per satu berbagai macam polemik dan isu terus meberondong layaknya peluru yang membawa kecemasan dan ketakutan terhadap masa depan Indonesia. Cerpen "Saksi Mata" menyajikan konflik-konflik sosial yang tampaknya masih relevan dengan keadaan Indonesia sekarang. Apalagi Seno Gumira Ajidarma (SGA) turut membubuhi kritikan-kritikan halus tetapi juga tajam dalam cerpennya tersebut. Tidak heran sebenarnya...

What's on My Playlist: 7 Single Oasis yang Bak Hidden Masterpiece

Because maybe... you're gonna be the one that saves me. And after all... you're my wonderwall~ Siapa, sih, yang gak tahu penggalan lirik lagu di atas? Apalagi para penggemar musik britpop, pasti udah khatam dengan lagu tersebut, "Wonderwall" dari Oasis. Lagu ini ada dalam album kedua Oasis yang berjudul (What's The Story) Morning Glory? yang rilis pada 2 Oktober 1995. Selain lagu "Wonderwall" yang begitu tenar di album ini, ada juga lagu "Don't Look Back in Anger" yang sampai disebut-sebut sebagai national anthem orang Inggris, lo. 😂 (dari kiri ke kanan) Paul Arthurs, Noel Gallagher, Liam Gallagher, Paul McGuigan, dan Alan White. (Sumber:  Radio X ) Oasis sendiri memulai debut mereka sejak 1991 dan merilis album debutnya pada 2 Agustus 1994 yang bertajuk Definitely Maybe . Jujurly , ini album paling favorit aku dari sekian banyak album yang udah dirilis Oasis. Single Oasis favoritku juga kebanyakan dari album ini. Fyi , seminggu setelah ...

Etnis Tionghoa Di Mana-Mana, Apakah Mereka Penguasa Dunia?

Pernah tidak kalian berpikir di mana bumi dipijak, di situ selalu ada orang Cina atau etnis Tionghoa? Setelah diperhatikan dengan saksama, mereka memang ada di mana-mana, terbukti dengan adanya pecinan atau biasa juga disebut Chinatown. Di Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Singapura, Australia, Amerika, dan bahkan Eropa, selalu dapat ditemui etnis Tionghoa. Apakah mereka memiliki misi menguasai dunia dengan menyebar ke berbagai sudut dunia? Usut punya usut, ternyata hal itu tak terlepas dari berbagai sejarah yang terjadi di negeri asal mereka. Ada beberapa faktor yang menyebabkan etnis Tionghoa tersebar di mana-mana, khususnya Asia Tenggara. Setelah membaca banyak sumber, inilah alasan yang sudah aku rangkum mengapa orang Cina ada di mana-mana. Kawasan Pecinan di Samarinda pada 1930. (Sumber:  intuisi.co ) Perdagangan Sejak ratusan tahun lalu, bangsa Cina suka melakukan perdagangan. Namun, dalam masa kekaisaran Tiongkok, ada sebuah tradisi konfusianisme yang memandang pedagan...