Langsung ke konten utama

Resensi: The Lighthouse (2019), Film Horor yang Terasa Absurd dan Unik

 

 

Sumber: imdb.com

Film horor biasanya identik dengan penampakan-penampakan hantu dan bahkan pada beberapa film selalu menyajikan jump scare di dalamnya. Dari dulu aku memang gak pernah bisa menonton film semacam itu meskipun sesekali nekat menonton hanya untuk menjawab rasa penasaran. Hal itu karena film horor dapat memberikan dampak rasa takut atau parno berlebihan dan bikin aku jadi mimpi buruk. Haha. Tapi, kali ini aku mencoba untuk menonton film yang disutradarai oleh Robert Eggers yaitu The Lighthouse yang dirilis pada 18 Oktober 2019 lalu.

Berbeda dengan film horor lainnya, aku merasa The Lighthouse merupakan film horor terbaik yang pernah aku tonton. The Lighthouse bisa dibilang merupakan film horor psikologis karena sepanjang menonton film ini, penonton akan merasakan sebuah kebingungan, resah, dan bergidik ngeri yang terasa tidak biasa. Musik latar yang muncul saat film ini dimulai pun sudah cukup membuat pikiranku terganggu, apalagi suara dari mercusuar yang menurutku terdengar mengerikan atau suara teriakan putri duyung yang gak aku sukai banget dalam film ini.

The Lighthouse hanya memiliki dua karakter utama yang diperankan sangat apik oleh Robert Pattinson yang berperan sebagai Ephraim Winslow dan Willem Dafoe sebagai Thomas Wake. Aku suka banget dengan perpaduan akting kedua aktor ini yang terasa begitu nyata dan penuh emosional. Kedua aktor ini menunjukkan kerja keras dan totalitasnya dalam berakting!

Dikisahkan bahwa Winslow dan Thomas bekerja sebagai penjaga sebuah mercusuar di sebuah pulau kecil yang disebut New England. Winslow baru pertama kali melakukan pekerjaan semacam ini, lain halnya dengan Thomas yang sudah bekerja selama bertahun-tahun sebagai penjaga mercusuar di pulau terpencil dan jauh dari jangkauan manusia.

Apa yang diinginkan Winslow hanyalah upah dari hasil kerja kerasnya menjaga dan merawat mercusuar untuk tetap berfungsi. Tapi, pembagian tugas yang dilakukan Thomas terasa tidak adil baginya. Bak asisten rumah tangga, Winslow diminta untuk membersihkan setiap ruangan yang menjadi tempat tinggal mereka, memperbaiki atap, mengambil batu bara sebagai bahan bakar agar lampu mercusuar tetap menyala, dan membersihkan air sumur. Sedangkan Thomas, ia hanya bekerja menjaga lampu mercusuar dan dengan keras kepala dia gak pernah mengizinkan Winslow untuk naik ke atas, di mana lampu mercusuar itu menyala dengan terang. Entah apa yang menyebabkan Thomas berbuat demikian, seakan ada sesuatu yang tersembunyi di lampu mercusuar tersebut. Berada di pulau terpencil dengan cuaca dan badai yang ganas bersama orang yang bersikap begitu keras padanya, Winslow sudah mulai kelihatan kacau dan kehilangan akal sehat. Perlahan tapi pasti, Winslow terlihat makin liar dengan fantasinya seperti sudah tidak bisa membedakan antara yang nyata dengan yang gak nyata.

Winslow dan Thomas yang seharusnya bekerja selama empat minggu di pulau tersebut kembali terisolasi saat kapal penjemput tidak datang karena adanya badai yang tak kunjung berhenti. Mereka memutuskan untuk mabuk semabuknya guna menyingkirkan rasa kesepian dan keanehan yang terjadi di pulau itu. Mereka saling bercerita, berdebat, bahkan berkelahi dan semua yang mereka lakukan terlihat absurd banget, gak jelas. Tapi, dari sini juga aku bisa lihat betapa tertekannya mereka berdua, melewati hari-hari yang panjang di pulau yang berada di tengah samudera dan hal itu sudah bikin mereka jadi gila.

Aku gak akan menyampaikan secara panjang lebar alur dari film The Lighthouse ini. Setelah sukses menggarap film The Witch (2015), Robert Eggers ditemani adiknya—Max Eggers sebagai pembuat naskah skenario, keduanya tampak ingin menunjukkan sebuah karya seni yang terasa absurd sekaligus estetik. Aku sendiri merasa dialog-dialog yang ada dalam film ini membingungkan—apalagi bahasa Inggris yang mereka gunakan itu kuno banget dan yang biasa dipakai oleh pelaut-pelaut zaman dulu gitu. Dan lagi, Roberts dan adiknya ini sekalipun gak memberitahu penonton mengenai apa sebenarnya yang ada di lampu mercusuar itu, yang membuat Thomas melarang Winslow untuk naik serta melihatnya. Tapi, di sini aku menduga ada hal berbau fetishizing, sih.

Beralih dari alur, aku bisa katakan bahwa film ini sangat unik. Jika zaman sekarang film banyak dibuat dengan rasio 16:9 bersama sentuhan warna yang begitu memukau dan memanjakan mata penonton, berbeda dengan The Lighthouse yang menggunakan rasio 1.19:1 dengan format hitam putih. Oh, iya, aku lupa bilang kalau film ini berlatar belakang tahun 1890-an. Mungkin hal itu yang membuat Robert Eggers memutuskan untuk menampilkan filmnya sedemikian rupa agar penonton ikut larut dan lebih fokus terhadap cerita yang disajikan. Kalau menggunakan rasio 1.19:1 dengan format hitam putih begini bikin filmnya jadi berasa abad 19 banget.


Sumber: rollingstone.com
 

Bagi sebagian orang film dengan rasio 1.19:1 berwarna hitam putih seperti itu akan terasa membosankan. Tapi, menurutku itulah yang menjadi kekuatan dalam pembuatan film ini agar menjadi lebih hidup dan dapat menyampaikan kesan horor, misterius, serta rasa takut yang lebih kental walaupun tidak berwujud penampakan makhluk halus. Tak hanya itu, meski berwarna hitam putih, The Lighthouse tetap mampu menampilkan sinematografi yang terlihat indah sekaligus mencekam berkat Jarin Blaschke sebagai sinematografer film ini. Ditambah dengan adanya musik latar yang begitu mendukung suasana film yang disajikan. Maka tak heran jika The Lighthouse mendapat beberapa penghargaan dan nominasi dalam ajang Oscar 2020 untuk sinematografi terbaik.

Sebagai orang yang gak bisa menonton film horor, The Lighthouse ternyata mampu membuatku jatuh cinta baik pada kemampuan akting pemain, sinematografi, maupun penyajian cerita yang memberikan pengalaman horor yang unik. Rating 9/10 untuk film The Lighthouse dari aku. Gak bisa kasih rating sempurna karena aku juga merasa sedikit kecewa dengan ending film yang sama sekali gak memberikan penjelasan tentang apa yang ada dalam lampu mercusuar yang membuat Thomas dan Winslow berebut untuk menjaganya. Meski begitu, Robert Eggers bersama saudaranya cukup genius dalam membuat film horor yang gak biasa seperti ini, absurd tapi memberikan kesan yang mendalam, indah, juga mencekam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konflik Sosial Antara Penguasa dan Rakyat dalam Cerpen "Saksi Mata" karya Seno Gumira Ajidarma

Source: elsam.or.id Pada tulisanku kali ini, aku akan membahas sebuah cerpen karangan Seno Gumira Ajidarma berjudul "Saksi Mata". Cerpen ini merupakan satu dari 16 cerpen yang terdapat dalam buku kumpulan cerpen Seno Gumira Ajidarma dengan judul yang sama dan ditulis pada tanggal 4 Maret 1992. Namun, aku membaca cerpen "Saksi Mata" ini melalui website sukab.wordpress.com, yang dikelola oleh komunitas penggemar Seno Gumira Ajidarma. Aku menjadi ingin membahas cerpen ini setelah merasa agak muak dengan kecamuk masalah yang dihadapi oleh negara ini, Indonesia. Satu per satu berbagai macam polemik dan isu terus meberondong layaknya peluru yang membawa kecemasan dan ketakutan terhadap masa depan Indonesia. Cerpen "Saksi Mata" menyajikan konflik-konflik sosial yang tampaknya masih relevan dengan keadaan Indonesia sekarang. Apalagi Seno Gumira Ajidarma (SGA) turut membubuhi kritikan-kritikan halus tetapi juga tajam dalam cerpennya tersebut. Tidak heran sebenarnya...

What's on My Playlist: 7 Single Oasis yang Bak Hidden Masterpiece

Because maybe... you're gonna be the one that saves me. And after all... you're my wonderwall~ Siapa, sih, yang gak tahu penggalan lirik lagu di atas? Apalagi para penggemar musik britpop, pasti udah khatam dengan lagu tersebut, "Wonderwall" dari Oasis. Lagu ini ada dalam album kedua Oasis yang berjudul (What's The Story) Morning Glory? yang rilis pada 2 Oktober 1995. Selain lagu "Wonderwall" yang begitu tenar di album ini, ada juga lagu "Don't Look Back in Anger" yang sampai disebut-sebut sebagai national anthem orang Inggris, lo. 😂 (dari kiri ke kanan) Paul Arthurs, Noel Gallagher, Liam Gallagher, Paul McGuigan, dan Alan White. (Sumber:  Radio X ) Oasis sendiri memulai debut mereka sejak 1991 dan merilis album debutnya pada 2 Agustus 1994 yang bertajuk Definitely Maybe . Jujurly , ini album paling favorit aku dari sekian banyak album yang udah dirilis Oasis. Single Oasis favoritku juga kebanyakan dari album ini. Fyi , seminggu setelah ...

Etnis Tionghoa Di Mana-Mana, Apakah Mereka Penguasa Dunia?

Pernah tidak kalian berpikir di mana bumi dipijak, di situ selalu ada orang Cina atau etnis Tionghoa? Setelah diperhatikan dengan saksama, mereka memang ada di mana-mana, terbukti dengan adanya pecinan atau biasa juga disebut Chinatown. Di Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Singapura, Australia, Amerika, dan bahkan Eropa, selalu dapat ditemui etnis Tionghoa. Apakah mereka memiliki misi menguasai dunia dengan menyebar ke berbagai sudut dunia? Usut punya usut, ternyata hal itu tak terlepas dari berbagai sejarah yang terjadi di negeri asal mereka. Ada beberapa faktor yang menyebabkan etnis Tionghoa tersebar di mana-mana, khususnya Asia Tenggara. Setelah membaca banyak sumber, inilah alasan yang sudah aku rangkum mengapa orang Cina ada di mana-mana. Kawasan Pecinan di Samarinda pada 1930. (Sumber:  intuisi.co ) Perdagangan Sejak ratusan tahun lalu, bangsa Cina suka melakukan perdagangan. Namun, dalam masa kekaisaran Tiongkok, ada sebuah tradisi konfusianisme yang memandang pedagan...