Selendang Sulaiman adalah seorang penyair kelahiran Sumenep, 18 Oktober 1989. Ia sudah banyak menulis puisi yang diterbitkan dalam media massa maupun situs web untuk kepenulisan dan sudah meluncurkan banyak buku antologi puisi seperti antologi puisi yang ditulisnya bersama penyair lain maupun antologi puisi yang ditulis oleh dirinya sendiri, yaitu Omerta (Halaman Indonesia, 2018).
| Selendang Sulaiman. (Sumber: arsippenyairmadura.com) |
Pada kesempatan kali ini, saya akan membahas salah satu puisi dari Selendang Sulaiman yang berjudul “Puisi Terlantar di Luar Istana”. Puisi tersebut dipublikasikan dalam situs web sastra-indonesia.com pada 2 Januari lalu. Ada banyak sekali puisi Selendang Sulaiman yang dipublikasikan dalam situs web sastra-indonesia.com sejak 2010 sampai 2021 ini dan “Puisi Terlantar di Luar Istana” sendiri ditulis Selendang Sulaiman di Jakarta pada 2020. Alasan mengapa saya ingin membahas puisi ini sebenarnya simpel saja. Saya sangat tertarik dengan puisi ini karena judulnya yang mengandung majas personifikasi.
Dalam tulisan ini saya akan menggunakan pendekatan formalisme untuk menganalisis puisi “Puisi Terlantar di Luar Istana”. Pendekatan ini memiliki fokus terhadap unsur-unsur pembangun karya sastra, yakni bentuk, bait, larik, diksi, gaya bahasa, rima, termasuk pencitraan dan sarana bunyi.
PUISI TERLANTAR DI LUAR ISTANA
aku melihat monster terbahak
di dalam tempurung kepala
menyeret nafsu tubuhnya
yang membara-bara dan terdera
aku menukilnya menjadi nyata
dengan kata-kata jenaka
yang mustahil akan kaubaca
dan di malam tak sepi ini
kutulis lagi dengan hati-hati
meski akhirnya kucaci sendiri
sajakku ini sepenuh tega
sepenuh cinta
astaga, ini percuma
puisi tak merubah apa-apa
yang kian asing di telinga bangsa
malahan terlantar di luar pagar
istana
Puisi ini memiliki empat bait dengan masing-masing bait memiliki tiga sampai lima larik atau baris. Gaya bahasa atau majas yang terdapat dalam puisi ini ialah majas simbolik, yang bisa kita lihat pada bait pertama dan bait keempat. Pendekatan formalis tidak akan mencari tahu makna dari simbol tersebut, yaitu “monster” dan “istana”. Tapi saat pertama kali membaca puisi ini pun kita sudah bisa menerka bahwa kata “monster” dan “istana” di sini adalah sebuah simbol akan sesuatu yang ingin disampaikan penyair. Selain itu, untuk kata “kau” pada bait kedua larik ketiga ini bukan ditujukan kepada pembaca. Namun, “kau” di sini ditujukan untuk seseorang atau kelompok yang memiliki keterkaitan dengan “monster” juga “istana”.
“Puisi Terlantar di Luar Istana” ini merupakan bentuk puisi lirik yang berarti mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair yang kuat. Hal tersebut bisa dilihat melalui kata-kata yang ditulisnya yang mengandung rasa emosional seperti kekecewaan. Bait pertama merupakan bait yang bagus sebagai pembuka puisi, pada larik pertamanya “aku melihat monster terbahak” memberikan citraan penglihatan. Namun, citraan penglihatan ini jadi terasa berbeda saat dilanjutkan larik kedua “di dalam tempurung kepala” yang berarti “monster” itu ada dalam kepala, bukan benar-benar di depan mata. Selain itu, bait ketiga mengandung citraan pendengaran pada larik pertama “dan di malam tak sepi ini” serta citraan perasaan pada larik keempat “sajakku sepenuh tega”.
Puisi dari Selendang Sulaiman ini banyak ditulis dengan menggunakan
kata-kata kiasan. Puisinya ini tidak bersifat frontal dalam mengutarakan
perasaannya, ia menyembunyikan makna sesungguhnya melalui kata atau diksi yang
bersifat kias. Ada dua diksi yang terasa asing dalam puisi ini, yaitu “terdera”
yang terdapat pada bait pertama dan “menukilkan” yang ada pada bait kedua. Bagi
orang awam mungkin akan sulit untuk memahami bait satu dan dua, maka dalam
membaca puisi ini harus ditemani Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk
mengetahui persamaan diksi atau kata dari “dera” dan “nukil”. Tapi lain halnya
jika pembaca memang sudah menguasai banyak kosakata bahasa Indonesia, maka tidak
akan sulit untuk mengetahui maksud dari dua diksi tadi.
Keindahan puisi “Puisi Terlantar di Luar Istana” ini bukan berasal dari pencitraan yang dihadirkan, melainkan berasal dari pemilihan diksi yang mengandung makna tersirat yang mana hal ini dapat menambah nilai kepuitisan dalam sebuah puisi. Akan tetapi, dapat juga menjadi kekurangan sebuah puisi karena sebagian orang pasti ada yang kesulitan memahami maksud dari penyair, apalagi jika diksi yang dipilih jarang sekali digunakan oleh masyarakat luas. Namun, Selendang Sulaiman tetap mampu menghadirkan keindahan puisinya ini melalui rima akhir yang tercipta dari ketepatannya dalam memilih diksi. Secara garis besar puisi ini memiliki rima a-a-a-a dan a-a-b-b.
Komentar
Posting Komentar